PENDIDIKAN - Gelar Doktor Honoris Causa (Dr. H.C.) adalah penghargaan akademik tertinggi yang diberikan oleh sebuah perguruan tinggi kepada individu yang dianggap memiliki kontribusi luar biasa dalam bidang tertentu, tanpa perlu menyelesaikan proses akademik formal seperti gelar doktor (Ph.D). Namun, akhir-akhir ini, muncul fenomena kontroversial di mana beberapa perguruan tinggi ilegal memberikan gelar ini dengan cara yang meragukan. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai integritas akademik dan standar pendidikan di Indonesia.
Perguruan Tinggi Ilegal dan Praktik Pemberian Gelar Dr. H.C.
Perguruan tinggi ilegal adalah institusi yang tidak memiliki izin resmi dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) atau Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT). Meski demikian, perguruan tinggi semacam ini masih ada dan bahkan berani memberikan gelar akademik, termasuk Dr. Honoris Causa, kepada tokoh-tokoh masyarakat. Praktik semacam ini jelas melanggar regulasi dan etika akademik, serta menodai makna dan kehormatan gelar tersebut.
Motivasi di balik pemberian gelar Dr. H.C. oleh perguruan tinggi ilegal umumnya tidak murni bersifat akademik atau penghargaan. Dalam beberapa kasus, hal ini diduga terkait dengan motif komersial, mencari keuntungan finansial dengan menjual gelar kepada individu atau tokoh yang ingin meningkatkan status sosial mereka. Fenomena ini mengarah pada komodifikasi gelar akademik, di mana gelar kehormatan dijadikan barang dagangan yang dapat diperoleh tanpa melalui proses seleksi atau penilaian yang ketat.
Dampak Terhadap Kredibilitas Dunia Pendidikan
Praktik pemberian gelar oleh perguruan tinggi ilegal memiliki implikasi serius terhadap kredibilitas dan integritas dunia pendidikan di Indonesia. Pertama, hal ini merusak kepercayaan masyarakat terhadap institusi pendidikan yang sah dan pengakuan terhadap gelar akademik. Ketika gelar Dr. H.C. dapat diperoleh dengan mudah tanpa prestasi nyata atau kontribusi signifikan, makna gelar tersebut menjadi terdevaluasi.
Kedua, hal ini dapat menimbulkan kebingungan dan kesalahan persepsi di kalangan masyarakat mengenai standar pemberian gelar akademik. Banyak orang mungkin tidak mengetahui perbedaan antara perguruan tinggi yang diakui secara resmi dengan yang ilegal. Akibatnya, individu yang menerima gelar dari institusi tidak resmi ini dapat dianggap memiliki kualifikasi dan prestise yang sama dengan penerima gelar dari perguruan tinggi bereputasi, yang tentu saja tidak sesuai dengan kenyataan.
Ketiga, praktik ini bisa menimbulkan dampak negatif pada para akademisi dan ilmuwan yang telah bekerja keras untuk mencapai gelar doktor melalui penelitian dan kontribusi ilmiah mereka. Pemberian gelar oleh institusi ilegal meremehkan usaha dan komitmen mereka terhadap dunia ilmu pengetahuan dan pendidikan.
Upaya Penegakan Hukum dan Pendidikan Masyarakat
Untuk menghadapi masalah ini, pemerintah melalui Kemendikbudristek perlu melakukan penegakan hukum yang lebih tegas terhadap perguruan tinggi ilegal. Selain itu, perlu adanya sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat mengenai pentingnya memilih institusi pendidikan yang telah terakreditasi dan diakui oleh otoritas yang berwenang.
Di sisi lain, perguruan tinggi yang sah juga harus memperketat aturan dan seleksi dalam pemberian gelar Dr. Honoris Causa, memastikan bahwa penerimanya benar-benar memiliki kontribusi luar biasa dalam bidang tertentu. Hal ini penting untuk menjaga kehormatan dan nilai dari gelar tersebut.
Baca juga:
Penemuan Dua Mayat Mr X Gemparkan Banyuwangi
|
Kesimpulan
Gelar Dr. Honoris Causa merupakan penghargaan bergengsi yang seharusnya diberikan kepada individu yang memiliki kontribusi nyata dalam bidang keilmuan atau masyarakat. Namun, fenomena pemberian gelar oleh perguruan tinggi ilegal telah menodai makna dan integritas dari penghargaan ini. Pemerintah, akademisi, dan masyarakat perlu bekerja sama untuk menindak praktik semacam ini dan menjaga kehormatan dunia pendidikan di Indonesia. Dengan demikian, gelar akademik tetap menjadi simbol prestasi dan integritas, bukan sekadar komoditas yang dapat dibeli.
Jakarta, 7 Oktober 2024
Hendri Kampai (Wartawan Utama, Ketua Umum Jurnalis Nasional Indonesia/ JNI/ Akademisi)